Jumat, Oktober 30, 2009

Sri

Cerpen ini adalah secuil bagian dari novel dansa berjudul "Ci" yang belum di buat.

by : dansa

Kalau itu aku hapal betul, suara Wak Pernata. orang tua yang jalannya gontai digerogoti rasa putus asa dan hilang semangat hidupnya semenjak istrinya meninggal setahun yang lalu. orang tua itu muazin surau bale kambang kampung kami yang sedang melantunkan azan ashar, sebenarnya suaranya parau dan putus-putus. Tetapi dengan gunung iman yang kokoh berkacak pinggang didalam hatinya mampu menyihir kami sehingga suaranya terasa mengalun bak rambut bidadari yang dipermainkan angin gunung, mendayu, meresap hingga ke sumsum tulang belakang. Tak mampu ku menolak ajakan Wak Pernata yang berkelebat dalam benakku, seolah-olah beliau berdiri di atap surau dan melambai-lambaikan tangannya mengajak kami solat berjamaah.Kututup rollingdor toko ku, kusambar kain sarung bergegas hendak ke surau.

Jalan kecil yang dibungkus permadani batu kali kutapaki, kuntul-kuntul penghamba Alloh bermunculan dari tiap sudut rumah yang berjauhan jaraknya, menghampiri sawah surau asal suara seruan adzan tadi, senyum sumringah terlempar dari setiap bibir anak surau dalam melepas hari ini dari kancah pencarian rizki, kecipak-kecipuk suara air kolam, muka-muka basah mata-mata yang teduh terpacar dari mereka, kamipun masuk ke dalam surau. Sekarang saatnya kami tepekur bersujud dan bersimpuh pada bumi dihadapan Alloh, mengadukan segala keluh-kesah, memohon segala harapan, dan ampunanNya.

Selepas solat ashar kebiasaanku menuang segelas kopi dan mengepul-ngepulkan asap rokok, sambil duduk di kursi dapur yang lusuh melendut, itu tempat yang paling asik melepas sore sambil bercakap-cakap dengan Ibuku, banyak hal yang sering aku obrolkan dengannya , dari hal yang penting, serius, bahkan hanya untuk membicarakan kelakuan tetanggaku yang kurang waras menurut ku, untuk hal itu ibu tidak suka, Ibu tidak tega membicarakan kekurangannya, hati ibu serasa disayat-sayat dan dadanya sesak jika ingat dia, mungkin itu suatu bentuk terimakasih ibu kepada Tuhan, karena ibu diberikan anak yang lengkap jasmani dan rohaninya, ibu selalu melekatkan matanya di mukaku jika sampai ke pembicaraan tentang tetanggaku itu, memberi isyarat untuk berhenti menggibahnya. Ibuku orang yang sabar, Ibu tidakbisa mengatakan tidak walau ia tak setuju, apalagi untuk kebijakan Bapak, bagai kerbau dicocok hidung ibu mentaati saja. yang paling ditakuti dalam hidupnya jika berdosa dari suami, baginya membantah suami berarti bencana, bumi akan menghimpitnya lahar menelan langit runtuh hingga tak dapat bernafas.
Saat itu kami mendengar suara pintu kamar Bapak dibuka, sudah dua hari Bapak tidak keluar dari kamar, kami tidak tahu alasan apa Bapak mengurung diri, hanya ketika waktu solat saja Bapak keluar mengambil air wudlu di bak mandi lalu masuk lagi. Tak seorang pun dirumah kami yang Berani bertanya alasannya, bahkan Ibu sekalipun selalu cukup mengatakan "duka" (tidak tahu) jika kami bertanya alasannya Bapak demikian.
Aku mendengar suara Bapak memanggilku, segera aku memperolehnya dikursi tempat Bapak suka duduk berlama-lama, aku duduk tertunduk di hadapannya, lama Bapak tidak berkata-kata apapun, pikiranku menduga-duga apa yang mau dikatakannya. Barangkali bapa sudah pikirkan untuk membagikan tanahnya pada kami sebelum beliau wafat, atau barangkali beliau... ah..
Ibu melantakkan hayalanku, ibu duduk sepertiku tanpa berkata-kata.
"Satya ! sudah berulang kali Bapak katakan, sudahi hubunganmu dengan Sri." Bapak mulai membuka pembicaraan. Dua hari Bapak mengurung diri dikamarnya hanya untuk mengatakan itu ? bukankah Bapak sering mengatakannya tanpa harus bertapa dahulu ? aku masih belum mengerti hendak kemana hati dan pikiran Bapak melangkah,

Sudah tiga bulan aku mengenal Sri, telah banyak kesempatan yang kami curi untuk kami saling bertemu, di rumahnya, di warung bi Sewi, sukaderi, tarikolot, balong tukang, Dangdeur. Kami saling memadu kasih merekatkan hati-hati kami, aku sudah mabuk kepayang.
Sri wanita tercantik yang pernah aku temui di muka bumi ini, setidaknya itu dalam penglihatanku. Di hitam bola matanya melati, mawar dan angrek. Di hitam bola matanya pula ia menyiratkan keluguan, ketulusan keikhlasan, kesederhanaan harapannya. senyum girang tiada kepalang acapkali dia bertemu dengan ku melukiskan hatinya yang hampa tanpa diriku, bagai seorang yang sedang hanyut di lautan lapas, lalu didapatinya perahu nelayan. Begitu tulusnya Sri mencintai aku membuat hatiku semakin tertambat padanya.

"Apa yang kau merasa pantas darinya ?". Bapak mulai memecah lagi keheningan.
"usianya saja baru 13 tahun, apa maneh (kamu) tidak berpikir ?". Kulihat dahi Bapak berkerut kulitnya melipat-lipat, matanya nanar berkaca-kaca, pandangannya dipalingkan keluar melewati jendela, menyembunyikan air mukanya dari kami. matanya menerawang ke kejauhan.
"Kenapa kamu teh diam sajah","mau atau tidak?". Bapak bertanya padaku, tapi aku mematung dan masih memikirkan Sri yang bagai hidup sebatang kara di dunia ini, yang dia tahu hanyalah aku.
"Bapak teh sudah pikirkan Satya, kalau maneh tidak mau menjaga beungeut kolot(muka orang tua), silahkan !, itumah hak maneh. mau berkeras hati dengan Sri juga silahkan !, tapi pergilah yang jauh supaya Bapak tidak lagi mendengar tentang kalian, jangan datang lagi kesini selama Bapak masih hidup, Bapak mendoakan semoga kalian bahagia.".Bapak berdiri dan pergi kekamarnya meninggalkan kami.

Bagai disambar petir disiang bolong tubuhku gemetar, panas, tak dapat bergerak tetapi tubuhku seperti melayang, ibarat benda kehilangan gaya gravitasi perasaankupun tak menentu, entah rasa seperti apa yang kurasakan. Petir sebagai mahluk luar ankasa yang belum diketahui kegunaannya itu telah menghantam tubuhku hingga tercabik-cabik berkeping-keping, darah semburat ke tak menentu arah,. ditingalkannya hatiku tergolek disana.
kulihat Ibu terdiam membatu, mimik muka datar tapi air matanya mengalir deras, sungguh aku tak tega melihat perempuan tua nan sabar ini membuang airmatanya hanya untukku. Aku akan baik-baik saja Bu ! itu kata hati yang tak mampu keluar dari mulutku, ini bukan hari yang tepat untuk membalas barang setetes air dari samudra kebaikanmu padaku.
Pilihan dilematis telah Bapak tawarkan padaku, bagai buah simalakama, dimakan Bapak mati, tidak dimakan Ibu yang mati. oh, sulit sekali bagiku, kenapa tidak buah yang lain saja ?

Dalam linangan air mata yang tak tertahankan tumpah ruah membasahi hampir separuh bajuku, aku berpamitan pada Ibu, aku meyakinkan pada Ibu bahwa aku akan memilih jalan hidup yang aku kehendaki, atas ultimatum dari Bapak akan aku terima dengan dengan lapang dada, ini resiko yang harus ku ambil. Jika aku tak dapat mengambil keduanya maka aku memilih yang paling lemah diantaranya.
Ibu tersenyum telungkup sabit, air matanya tak henti meleleh dari haribaan kasih tak berujung, tangannya mengelus-elus, menepuk-nepuk, menggenggam erat pundakku. Mengangguk-anggukan kepala tanpa sepatah katapun, mata lekat menatapku seolah membisikan syair kalimah sakti "Kamu sudah pantas menjadi kepala keluarga Nak. jemputlah Sri mu, doaku tertancap diubun-ubun dan diulu hatimu, selamat jalan anakku."

Aku pergi tanpa berpamitan pada Bapak, diantar tatapan Ibu hingga hilang dari pandangannya.
Aku masih belum dapat merasakan tubuhku ini sebenarnya masih ada, seolah-olah bagian dari hidupku hanya tinggal segumpal hati, yang melayang-layang menyusuri bentangan jalan tak tentu arah, hanya pasrah pada takdir angain membawanya.
Malam itu aku singgap di gubuk sawah entah milik siapa, tak ada yang mampu kupikirkan selain mendekap hati yang kian malam kian terasa sakit. setiap helaan nafas terasa seperti sayatan sembilu mengiris hati ini, hingga subuh datang aku baru tertidur digubuk itu.

Kakiku terasa hangat, kubuka mata perlahan. Silau sinar matahari membuat mataku tak jelas melihat, dimukaku sosok manusia perlahan tampak, kilaban rambut melambai-lambai tertiup semilir angin pagi, senyum bibirnya menyuguhkan sarapan pagi bagiku yang belum makan sedari kemarin. Sri yang dihadapanku itu, sosok bidadariku yang selalu kubawa dalam kalbuku, kusimpan disekat bilik hati sebelah kiri. Suara penawar segala lara membangkitkanku dari terbanring.
"Aa kenapa tidur di saung ? (gubuk sawah)" .
aku belum menjawab bidadari kecil ku, ku amati petak demi petak sawah yang mengelilingi gubuk ini, kulihat batas-batas sawah, kulihat jalan setapak yang membelah hamparan sawah menuju ke kampung yang aku tak asing lagi. oh, aku terdampar di gubuk yang tak jauh dari rumah Sri.
Sri masih memegangi telapak kakiku yang dingin sisa lahapan angin malam yang kubiarkan tanpa daya. di bening matanya menyiratkan pertanyaan yang belum mau ku jawab. Sri tidak memaksa pertanyaannya, diraupnya jemariku dalam genggaman jemarinya yang hangat nan erat, lalu ditelekamkannya di pipinya lama hingga kami merasa baik. Begitulah Sri memperlakukan aku bak dewa kehidupan bagi dirinya. Sri membujukku untuk berbincang di rumahnya, dan aku setuju.

Kopi hangat telah menyadarkanku dari drama tadi malam, sebatang rokok sedikit menawar rasa sakit di ulu hati yang kini datang lagi, Sri memecah kesibukanku yang sedang menguasai hati ini.
"Aa kenapa tidur di saung ?".
Ini pertanyaan yang sulit aku jawab, jika aku mengatakan apadanya, tentu sangat menyinggung perasaannya, membuat ia merasa bersalah padaku, merasa ia tidak berharga sama sekali, dan banyak kemungkinan lain yang akan menyiksa hatinya. Aku tidak mau Sri terluka sedikitpun.
"Aku sudah berpamitan akan pergi ke Bandung tadi malam, tapi aku belum mau berangkat ke sana. Aku akan menemanimu beberapa hari di sini.".
Sri tidak memaksakan beberapa pertanyaan yang kritis, sepanjang dua hari aku bersamanya.
Sri bahagia, akupun terobati. Aku semakin yakin bahwa Sri pilihan terbaikku.
"Kenapa Aa harus mencari kerja ke Bandung ?"
"Aku punya impian untukmu Ci, aku akan membuat hidupmu lebih dari yang lain, kau tigabelas aku dua sembilan, tidak ada yang salah dari kita." (Ci adalah panggilanku pada Sri) .Sri tersenyum lebar, walaupun aku tahu dia tidak mengerti apa yang ku ucapkan, baginya ucapanku hanyalah gombal yang menyenangkan.
Sri melepas kepergianku dengan penuh harap kembali, ia mengatarku hingga terminal bus.

Bersambung..........

2 komentar:

syaqila 30 Oktober 2009 pukul 18.24  

Kalau ini adalah sekelumit kisah dari Novel yang belum terbit, ada kesan terburu-terburu mengangkat problem. Penokohan jadi kurang berkarakter. Tema masih seputaran cinta, tidak apa, karena tema ini tidak akan habis untuk dibuat cerita, hatta ribuan pujangga bertema sama.

nengndrie,  1 November 2009 pukul 21.39  

kang Dan..berhubung novel nya lom selesai, jadi no coment heula nya...hehehe...yang jelas mah, abdi salut pisanka kang Dan..okeh...keep witing ya, bro ?...

Posting Komentar

POSTING TERBARU

KOMENTAR TERBARU

  © Free Blogger Templates Blogger Theme by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP